Kamis, 09 Desember 2010

LANJUTAN HAMBATAN SUMBER DAYA DAN PERUBAHAN TEKNIS

Pembangunan pertanian pada era globalisasi saat ini harus dibangun secara terintegrasi, mulai dari pembangunan industri hulu, on farm, dan industri hilir. Hal ini disebabkan dalam usaha membangun pertanian di suatu Negara memerlukan faktor-faktor produksi (input), yang meliputi tanah, tenaga kerja, modal dan skill (keterampilan). Keempat komponen input ini dikombinasikan sedemikian rupa dalam kegiatan usahatani untuk memperoleh output tertentu. Faktor-faktor produksi ini juga memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya, untuk itu diperlukanlah skill untuk dapat mengkombinasikannya sehingga diperoleh hasil output yang maksimal. Dengan kata lain setiap petani perlu memiliki skill yang baik dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Keterampilan disini dapat berupa kemampuan petani dalam menggali ide-ide baru yang bersifat inovasi dan kreasi sehingga dapat memanfaatkan hambatan atau kelemahan masing-masing faktor produksi sebagai suatu peluang.

Menurut Yujiro Hayami dalam bukunya yang berjudul “Agriculture Development” diuraikan teori-teori mengenai cara bagaimana membangun pertaniian di suatu Negara (how to improving the agriculture). Dalam hal ini saya akan mengemukakan pendapat saya mengenai teori beliau yang dijelaskan pada bab 7 mengenai produktivitas tenaga kerja di Negara Amerika serikat dan Jepang. Menurut Hayami setiap Negara pasti memiliki hambatan-hambatan atas sumber daya yang dimilikinya, akan tetapi hambatan-hambatan tersebut tidak mutlak akan membatasi pembangunan pertanian jika suatu Negara mampu mengkombinasikan sumber daya itu dengan baik. Sebagai contohnya di Negara Amerika Serikat dan Jepang yang notabene merupakan Negara maju memiliki masalah pembangunan pertanian juga. Namun kedua Negara ini memandang masalah tersebut sebagai suatu tantangan dan peluang untuk mencapai hasil produksi yang optimal.

Menurut data pada tabel 7.1 buku Hayami Luas lahan pertanian yang dimiliki oleh Amerika pada tahun 1880 yaitu 327 juta ha, sedangkan di Jepang luas lahan pertanian mencapai 5.509 ha. Dari data luas lahan masing-masing Negara diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan, namun dalam faktanya kedua Negara tersebut tingkat produksi pertaniannya mampu menghasilkan kelebihan produksi untuk ekspor ke beberapa Negara di dunia. Teknik yang diterapkan di Negara Amerika Serikat yaitu peningkatan produktivitas tenaga kerja sebagai pihak yang berperan dalam melakukan kegiatan usahatani. Sementar itu, di Jepang diterapkan peningkatan produksi lahan dengan cara pemakaian pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah.

Di Negara-negara yang sudah maju, kemajuan pertanian diukur dengan tingginya produktivitas tenaga kerja, dan semua usaha diarahkan untuk meningkatkan produktivitas itu. hal ini dikarenakan pada Negara maju tenaga kerja merupakan faktor produksi yang terbatas jumlahnya, sebaliknya di Negara-negara berkembang khususnya Indonesia tenaga kerja merupakan faktor produksi yang banyak jumlahnya bahkan menjadi tidak bermanfaat (useless). Dengan demikian pada Negara maju untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja digunakan mesin-mesin “penghemat tenaga kerja” (labor saving) untuk mencapai produktivitas pertanian yang maksimal. Prinsip ekonomi pertanian yang diterapkan di Amerika Serikat yaitu meningkatkan efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja per orang bukan peningkatan efisiensi dalam penggunaan tanah per hektar. Meskipun demikian untuk dapat diterapkan di amerika perlu beberapa syarat yang telah terpenuhi dalam menjamin efisiensi penggunaan tenaga kerja yang maksimum, yaitu tersediuanya tanah yang cukup, alat-alat pertanian, mesin-mesin, dan tenaga kerja (power) yang cukup. Di samping itu, peran ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen juga tidak kalah pentingnya sebagai suatu kekuatan untuk membangun pertanian.
( Mubyarto, 1994)

Tingkat produktivitas tenaga kerja di amerika Serikat dan Jepang seperti yang ditampilkan pada table 7.2 di dalam buku Hayami, tahun 1980 terlihat bahwa di Amerika Tingkat produktivitas tenaga kerjanya mencapai 70 % sementara Jepang hanya 40%. Hal ini memberikan gambaran yang jelas bagaimana setiap Negara memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai produktivitas yang optimal. Di Amerika karena luas lahan pertaniannya lebih tinggi, maka tingkat produktivitas tenaga kerja yang ditingkatkan. Sedangkan di Jepang karena luas lahan pertaniannya lebih sempit, maka diusahakan peningkatan produktivitas lahannya daripada tenaga kerjanya. Namun demikian, dengan perbedaan teknik ini tidak membuat masing-masing Negara terhambat pembangunan pertaniannya, sebaliknya dengan ketersediaan input yang berbeda kedua Negara tersebut bisa memperoleh hasil produksi pertanian yang hebat karena sebagian hasil tersebut mamapu diekspor ke berbagai Negara di dunia.

Di samping tingkat produktivitas tenaga kerja, baik Negara Amerika maupun Jepang juga menerapkan adopsi teknologi berupa pemakaian mesin-mesin pertanian dan teknologi biologi (atau penggunaan benih unggul) sebagai penentu keberhasilan pembangunan pertanian. Di amerika lahan dibedakan menjadi dua yaitu lahan yang baiuk/cocok untuk ditanami (arable land) dan lahan yang digunakan untuk penggembalaan hewan ternak (grazing land). Pada periode 1900-1930 terjadi konversi lahan dari grazing land menuju arable land sebagai akibat pertumbuhan populasi di Amerika. Sementara di Jepang pada periode 1880-1910 terjadi peningkatan jam kerja per tenaga kerja. Rasio tanah-tenaga kerja dibandingkan dengan jumlah jam kerja hewan ternak yang digunakan serta penggunaan tenaga traktor per tenaga kerja. Di Jepang rasio tanah-tanaga kerja menggunakan indicator tenaga kerja pria dan jam kerja yang digunakan.

Apabila dibandingkan dengan Negara Indonesia, dimana jumlah tenaga kerja yang tersedia jumlahnya cukup tinggi, masalah produktivitas tenaga kerja menjadisuatu masalah yang begitu serius. Bagaimana tidak, dengan ketersediaan sumser daya yang melimpah Indonesia justru tidak mampu membangun pertanian secara terintegrasi. Padahal telah jelas terlihat bahwa untuk membangun pertanian yang berhasil diperlukan hubungan yang terintegrasi mulai dari input, on farm, industri hulu dan industi hilir. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam usaha membangun pertanian ialah tenaga kerja yang memiliki kompetensi dalam usahatani. Artinya pendidikan serta pengalaman tenaga kerja memiliki pengaruh terhadap tingkat produktivitas pertanian itu sendiri. Jika tenaga kerjanya sudah memiliki skill yang cukup, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dalam kegiatan usahatani yang dilakukan, sehingga tercapai efisiensi dan produktivitas pertanian pun akan meningkat.
(Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES)

0 comments:

Posting Komentar

 
Designed by: NewWpThemes | Converted to Blogger by Professional Blogger Templates | Contact | About