A. Pengertian
Iklim: Rata-rata cuaca selama 30 tahun pada suatu negara / ruang lingkup yang luas
Sumber Daya Air: Sumber daya berupa air yang berguna atau potensial bagi manusia. Kegunaan air meliputi penggunaan di bidang pertanian, industri, rumah tangga, rekreasi, dan aktivitas lingkungan
B. Siklus Hidrologi
Air adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup di bumi. Secara umum banyaknya air yang ada di planet ini adalah sama walaupun manusia, binatang dan tumbuhan banyak menggunakan air untuk kebutuhan hidupnya. Jumlah air bersih sepertinya tidak terbatas, namun sebenarnya air mengalami siklus hidrologi di mana air yang kotor dan bercampur dengan banyak zat dibersihkan kembali melalui proses alam.
Proses siklus hidrologi berlangsung terus-menerus yang membuat air menjadi sumber daya alam yang terbaharui. Jumlah air di bumi sangat banyak baik dalam bentuk cairan, gas / uap, maupun padat / es. Jumlah air seakan terlihat semakin banyak karena es di kutub utara dan kutub selatan mengalami pencairan terus-meners akibat pemanasan global bumi sehingga mengancam kelangsungan hidup manusia di bumi.
Macam-Macam dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi :
A. Siklus Pendek / Siklus Kecil
1. Air laut menguap menjadi uap gas karena panas matahari
2. Terjadi kondensasi dan pembentukan awan
3. Turun hujan di permukaan laut
B. Siklus Sedang
1. Air laut menguap menjadi uap gas karena panas matahari
2. Terjadi kondensasi
3. Uap bergerak oleh tiupan angin ke darat
4. Pembentukan awan
5. Turun hujan di permukaan daratan
6. Air mengalir di sungai menuju laut kembali
C. Siklus Panjang / Siklus Besar
1. Air laut menguap menjadi uap gas karena panas matahari
2. Uap air mengalami sublimasi
3. Pembentukan awan yang mengandung kristal es
4. Awan bergerak oleh tiupan angin ke darat
5. Pembentukan awan
6. Turun salju
7. Pembentukan gletser
8. Gletser mencair membentuk aliran sungai
9. Air mengalir di sungai menuju darat dan kemudian ke laut
C. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Air
Perubahan iklim dapat memberikan efek yang signifikan terhadap sumber daya air di seluruh dunia karena hubungan yang erat antara iklim dan daur hidrologi. Peningkatan temperatur akan meningkatkan penguapan dan memicu peningkatan presipitasi. Secara keseluruhan akan terjadi peningkatan suplai air tawar dunia. Banjir dan kekeringan akan terjadi lebih sering di beberapa wilayah dalam waktu yang berbeda-beda, akan terjadi perubahan yang drastis pada hujan salju dan proses pelelehan salju di pegunungan akan meningkat. Temperatur yang meningkat juga akan mempengaruhi kualitas air, namun belum dipahami dengan baik
Kenaikan suhu hingga 1ºC akan mengurangi persediaan air dan meningkatkan kekeringan di beberapa wilayah ekuator. Kenaikan suhu di atas 1ºC akan menimbulkan banjir, kekeringan, erosi, dan kualitas air yang semakin menurun. Naiknya air laut akan memperluas pengasinan air tanah sehingga menurunkan persediaan air tawar bagi daerah-daerah di pesisir pantai. Ratusan juta orang akan menghadapi kekurangan air.
D. Naiknya Permukaan Air Laut
Kenaikan permukaan laut adalah fenomena naiknya permukaan laut yang disebabkan oleh banyak faktor yang kompleks. Permukaan laut telah mengalami kenaikan setinggi 120 meter sejak puncak zaman es 18.000 tahun yang lalu. Kenaikan tertinggi muka air laut terjadi sebelum 6.000 tahun yang lalu. Sejak 3.000 tahun yang lalu hingga awal abad ke-19, muka air laut hampir tetap hanya bertambah 0,1 hingga 0,2 mm/tahun; sejak tahun 1900, permukaan laut naik 1 hingga 3 mm/tahun; sejak tahun 1992 satelit altimetri TOPEX/Poseidon mengindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar 3 mm/tahun. Perubahan ini bisa jadi merupakan pertanda awal dari efek pemanasan global terhadap kenaikan muka air laut. Pemanasan global diperkirakan memberikan pengaruh yang signifikan pada kenaikan muka air laut di abad ke-20 ini.
Menurut riset yang ada, pemanasan global dari efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim dapat menaikan permukaan air laut hingga 5–200 cm untuk abad selanjutnya. Ketinggian air laut memang selalu berfluktuasi dengan perubahan dari temperatur global. Ketika zaman es dimana temperatur global sebesar 5 derajat Celsius lebih rendah dari sekarang, kebanyakan dari air laut terikat dalam gletser dan ketinggian permukaan air lautnya sekitar 100 meter lebih rendah dari sekarang. Tetapi, saat periode terakhir “interglacial” (100,000 tahun yang lalu), permukaan air laut lebih tinggi 6 meter dari sekarang dan temperaturnya berkisar 1 derajat Celsius lebih hangat dari sekarang. Tren permukaan air laut global telah diestimasi dengan cara mengkombinasikan tren–tren dari “tidal stations” di seluruh dunia. Rekor-rekor ini memperlihatkan bahwa selama abad terakhir ini, permukaan air laut di seluruh dunia telah naik hingga 10–25 cm yang sebagian besar diakibatkan oleh pemanasan global dari abad terakhir.
Kenaikan permukaan air laut akan membanjiri rawa-rawa dan dataran rendah, mempercepat erosi dan memperburuk banjir di pesisir pantai, mengancam bangunan–bangunan di daerah pesisir, kehilangan kawasan wisata pantai yang indah dan juga meningkatkan salinitas (pencemaran kadar garam) di daerah sungai, teluk, dan air di dalam tanah (aquifers).
E. Dampak Negatif Kenaikan Muka Air Laut
Dampak paling serius dari naiknya tinggi muka air laut ini adalah hilangnya pulau-pulau kecil. Diperkirakan dari 44 anggota SIDS, 14 negara kecil di antaranya terancam hilang akibat naiknya permukaan laut, antara lain beberapa negara pulau di Samudra Pasifik, yaitu Sychelles, Tuvalu, Kiribati, dan Palau, serta Maladewa di Samudra Hindia. Akibat pemanasan global, minimal 18 pulau di muka bumi ini telah tenggelam, antara lain tujuh pulau di Manus, sebuah provinsi di Papua Niugini. Kiribati, negara pulau yang berpenduduk 107.800 orang, sekitar 30 pulaunya saat ini sedang tenggelam, sedangkan tiga pulau karangnya telah tenggelam. Maladewa yang berpenduduk 369.000 jiwa, presidennya telah menyatakan akan merelokasikan seluruh negeri itu. Sementara itu, Vanuatu yang didiami 212.000 penduduk, sebagian telah diungsikan dan desa-desa di pesisir direlokasikan karena ancaman nyata itu, delegasi dari negara kepulauan tersebut serta Aljazair dan Tanzania sangat mendukung WOC dan akan hadir di Manado, mengingat negara tersebut terancam hilang dari muka bumi ini akibat perubahan iklim.
Di antara negara kepulauan di dunia, agaknya kerugian terbesar bakal dihadapi Indonesia, sebagai negara yang memiliki jumlah pulau terbanyak. Pada tahun 2030 potensi kehilangan pulaunya sudah mencapai sekitar 2.000 bila tidak ada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, urai Indroyono, Sekretaris Menko Kesra yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP. Saat ini belum diketahui berapa sesungguhnya jumlah pulau di Nusantara ini yang telah hilang karena dampak kenaikan permukaan laut. Namun, pengamatan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menunjukkan penciutan daerah pantai sudah terlihat di pulau-pulau yang berada di Paparan Sunda dan Paparan Sahul, ungkap Aris Poniman, Deputi Sumber Dasar Sumber Daya Alam Bakosurtanal. Paparan Sunda meliputi pantai timur Pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan serta pantai utara Pulau Jawa. Adapun Paparan Sahul berada di sekitar wilayah Papua. Penjelasan Aris didasari pada pemantauan pasang surut yang dilakukan Bakosurtanal di berbagai wilayah pantai Nusantara sejak 30 tahun terakhir.
Senin, 13 Desember 2010
Jumat, 10 Desember 2010
Faktor Substitusi di Sekitar Fungsi Metaproduksi
Factor Substitution Along The Meta Production Function
(Faktor Substitusi di Sekitar Fungsi Metaproduksi)
Sebelum berpendapat, terlebih dahulu saya akan menjelaskan ruang lingkup pembahasan sesi ini. Pada bab ini dijelaskan tentang kurva perbandingan antara hubungan rasio harga sumber tenaga-buruh tani dan sumber tenaga di lahan pertanian serta hubungan rasio harga pupuk-lahan yang baik ditanami dan input pupuk per hektar lahan yang baik ditanami. Juga dijelaskan pula tabel regresi rasio lahan-buruh tani dan sumber tenaga-buruh tani pada faktor harga yang relatif serta regresi input pupuk per hektar tanah yang baik ditanami pada faktor harga yang relatif . Semua pengamatan ini dilakukan di dua negara yaitu Amerika Serikat dan Jepang, berdasarkan observasi yang dilakukan lima tahunan 1880-1980.
Pada kurva perbandingan antara hubungan rasio harga sumber tenaga-buruh tani dan sumber tenaga di lahan pertanian, terlihat bahwa rasio harga sumber tenaga-buruh tani di AS menyebar lebih rendah namun sumber tenaga di lahan pertanian yang digunakan AS menyebar lebih tinggi dibandingkan di Jepang.
Pada kurva hubungan rasio harga pupuk-lahan yang baik ditanami dan input pupuk per hektar lahan yang baik ditanami, terlihat bahwa rasio harga pupuk-lahan yang baik ditanami di AS menyebar lebih tinggi namun input pupuk per hektar lahan yang baik ditanami di AS menyebar lebih rendah apabila dibandingkan dengan Jepang.
Pada tabel regresi rasio lahan-buruh tani dan sumber tenaga-buruh tani pada faktor harga yang relatif dapat disimpulkan bahwa, di AS harga lahan dan harga sumber tenaga dan mesin relatif terhadap perkiraan upah di lahan pertanian, maka inovasi mekanikal yang meningkatkan MRS sumber tenaga untuk buruh tani juga untuk meningkatkan MRS lahan untuk buruh tani (Marginal Rate of Technical Substitution (MRS atau MRTS) adalah suatu angka untuk mengukur berkurangnya salah satu jenis faktor produksi per unit dengan bertambahnya penggunaan faktor produksi lain untuk mempertahankan tingkat output yang sama). Sedangkan, inovasi mekanikal di Jepang telah berkembang dan diadopsi terutama untuk meningkatkan hasil lahan, hal ini dilakukan daripada mereka harus mensubstitusi mesin dengan tenaga kerja.
Pada tabel regresi input pupuk per hektar tanah yang baik ditanami pada faktor harga yang relatif disimpulkan terdapat hubungan substitusi antara penggunaan pupuk dan buruh tani. Di AS ternyata lebih banyak menggunakan pupuk (>90%). Sedangkan di Jepang, Input pupuk dapat disubstitusi dengan pemeliharaan tanaman oleh manusia dan dengan penyediaan pupuk yang dapat dibuat sendiri misalnya pupuk kandang dan pupuk hijau.
Opini :
Amerika dan Jepang, kedua negara ini berbeda baik dari faktor sumber daya alam, sosial, ekonomi dan iklimnya. Akan tetapi, disebabkan adanya inovasi dalam mekanisasi, kedua negara ini diberi kesempatan untuk sama-sama dapat menghasilkan produksi pertanian yang maksimal dengan menyesuaikan mekanisasi dengan kondisi pertanian di negara masing-masing.
Kondisi petanian yang dimaksud terutama mengenai faktor-faktor produksinya. Sebab kita mengetahui bahwa di dalam pertanian terdapat berbagai macam faktor produksi, tiga yang pokok diantaranya adalah tanah, modal dan tenaga kerja (baik tenaga manusia maupun tenaga hewan). Setiap faktor mempunyai fungsi yang berbeda dan saling terkait satu sama lainnya. Jika salah satu faktor tidak tersedia maka proses produksi tidak akan berjalan namun apabila salah satu faktor ada namun tidak memadai maka hal tersebut dapat diatasi dengan penambahan faktor input yang lain.
Seperti yang terjadi di AS, lahan pertanian di AS kurang subur, untuk mengatasi hal tersebut maka mereka meningkatkan penggunaan pupuk, di lain pihak tenaga kerja mereka melimpah, namun lahan pertanian juga luas, maka mereka meningkatkan dua hal yaitu penggunaan faktor tenaga kerja dan mekanisasi, sehingga produktivitas meningkat. Sebagai contoh lagi, di Jepang lahan pertanian subur karena tanahnya ditutupi abu vulkanis, namun tenaga kerja kurang melimpah, maka mereka meningkatkan penggunaan mesin untuk mensubstitusikan tenaga kerja, dan tenaga kerja yang ada digunakan untuk melakukan perawatan tanaman, misalnya membuat pupuk alami, sehingga meskipun lahan mereka sempit,tetapi memiliki produktivitas yang tinggi. Dengan demikian pertanian di AS dan Jepang merupakan contoh negara-negara yang berhasil dalam bidang peningkatan produksi pertanian.
Perbandingan kedua negara ini sebenarnya sedang menyadarkan kita bahwa untuk membangun pertanian, dibutuhkan perhatian yang khusus, terutama dalam R&D (Research and development) atau Penelitian dan Pengembangan. Sebelum bergerak ke arah pembangunan pertanian, hendaknya potensi suatu daerah / negara disurvey terlebih dahulu, sehingga dapat diketahui kelemahan dan keunggulannya sekaligus di bidang pertanian, kemudian apabila hal tersebut telah diketahui maka dilakukan perencanaan yang matang tentang bagaimana cara agar produktivitas yang dihasilkan tidak mengecewakan ataupun dapat menyia-nyiakan faktor produksi dan pembangunan pertanian yang dilakukan dapat sustain / berkelanjutan. Setelah itu, barulah pembangunan pertanian dapat dilakukan.
Bustanul Arifin dalam Kompas, 21 April 2008 mengatakan bahwa R&D adalah salah satu dari tiga dimensi yang melengkapi strategi dalam pembangunan pertanian. Menurutnya pembangunan pertanian wajib mengedepankan riset dan pemgembangan (R&D), misalnya melakukan uji varietas baru di sejumlah lahan kering dengan memberdayakan jaringan universitas dan balai pengembangan teknologi pertanian. Dengan pernyataan ini, maka Indonesia juga berpeluang untuk dapat mengikuti prestasi AS dan Jepang di bidang pertanian.
Dalam bab ini juga menceritakan, bagaimana inovasi dalam mekanisasi maupun teknologi berpengaruh besar bagi peningkatan produksi pertanian. Moehar Daniel (2002) menyatakan bahwa teknologi berperan dalam menentukan saling keterkaitan antar-faktor produksi. Menurut Daniel, katakanlah kalau luas tanah yang digunakan satu hektar maka berapa jumlah modal dan tenaga kerja yang dibutuhkan dapat ditentukan dengan menetapkan teknologi yang akan diterapkan. Begitu juga kalau modal yang tersedia terbatas atau ditentukan maka luas usaha tani juga harus mengikuti.
Teknologi yang selalu berubah dalah satu dari lima syarat pokok pembangunan pertanian menurut Mosher. Faktor ini termasuk ke dalam faktor yang esensial dalam pembangunan pertanian yang dapat mendorong petani untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, tentu daja faktor ini harus ditunjang dengan faktor pelancar yaitu pendidikan dan pelatihan. AS dan Jepang telah dapat membuktikannya, dengan begitu, Indonesia juga dapat berpeluang untuk melakukannya, dengan mencontoh metode R&D yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
(Faktor Substitusi di Sekitar Fungsi Metaproduksi)
Sebelum berpendapat, terlebih dahulu saya akan menjelaskan ruang lingkup pembahasan sesi ini. Pada bab ini dijelaskan tentang kurva perbandingan antara hubungan rasio harga sumber tenaga-buruh tani dan sumber tenaga di lahan pertanian serta hubungan rasio harga pupuk-lahan yang baik ditanami dan input pupuk per hektar lahan yang baik ditanami. Juga dijelaskan pula tabel regresi rasio lahan-buruh tani dan sumber tenaga-buruh tani pada faktor harga yang relatif serta regresi input pupuk per hektar tanah yang baik ditanami pada faktor harga yang relatif . Semua pengamatan ini dilakukan di dua negara yaitu Amerika Serikat dan Jepang, berdasarkan observasi yang dilakukan lima tahunan 1880-1980.
Pada kurva perbandingan antara hubungan rasio harga sumber tenaga-buruh tani dan sumber tenaga di lahan pertanian, terlihat bahwa rasio harga sumber tenaga-buruh tani di AS menyebar lebih rendah namun sumber tenaga di lahan pertanian yang digunakan AS menyebar lebih tinggi dibandingkan di Jepang.
Pada kurva hubungan rasio harga pupuk-lahan yang baik ditanami dan input pupuk per hektar lahan yang baik ditanami, terlihat bahwa rasio harga pupuk-lahan yang baik ditanami di AS menyebar lebih tinggi namun input pupuk per hektar lahan yang baik ditanami di AS menyebar lebih rendah apabila dibandingkan dengan Jepang.
Pada tabel regresi rasio lahan-buruh tani dan sumber tenaga-buruh tani pada faktor harga yang relatif dapat disimpulkan bahwa, di AS harga lahan dan harga sumber tenaga dan mesin relatif terhadap perkiraan upah di lahan pertanian, maka inovasi mekanikal yang meningkatkan MRS sumber tenaga untuk buruh tani juga untuk meningkatkan MRS lahan untuk buruh tani (Marginal Rate of Technical Substitution (MRS atau MRTS) adalah suatu angka untuk mengukur berkurangnya salah satu jenis faktor produksi per unit dengan bertambahnya penggunaan faktor produksi lain untuk mempertahankan tingkat output yang sama). Sedangkan, inovasi mekanikal di Jepang telah berkembang dan diadopsi terutama untuk meningkatkan hasil lahan, hal ini dilakukan daripada mereka harus mensubstitusi mesin dengan tenaga kerja.
Pada tabel regresi input pupuk per hektar tanah yang baik ditanami pada faktor harga yang relatif disimpulkan terdapat hubungan substitusi antara penggunaan pupuk dan buruh tani. Di AS ternyata lebih banyak menggunakan pupuk (>90%). Sedangkan di Jepang, Input pupuk dapat disubstitusi dengan pemeliharaan tanaman oleh manusia dan dengan penyediaan pupuk yang dapat dibuat sendiri misalnya pupuk kandang dan pupuk hijau.
Opini :
Amerika dan Jepang, kedua negara ini berbeda baik dari faktor sumber daya alam, sosial, ekonomi dan iklimnya. Akan tetapi, disebabkan adanya inovasi dalam mekanisasi, kedua negara ini diberi kesempatan untuk sama-sama dapat menghasilkan produksi pertanian yang maksimal dengan menyesuaikan mekanisasi dengan kondisi pertanian di negara masing-masing.
Kondisi petanian yang dimaksud terutama mengenai faktor-faktor produksinya. Sebab kita mengetahui bahwa di dalam pertanian terdapat berbagai macam faktor produksi, tiga yang pokok diantaranya adalah tanah, modal dan tenaga kerja (baik tenaga manusia maupun tenaga hewan). Setiap faktor mempunyai fungsi yang berbeda dan saling terkait satu sama lainnya. Jika salah satu faktor tidak tersedia maka proses produksi tidak akan berjalan namun apabila salah satu faktor ada namun tidak memadai maka hal tersebut dapat diatasi dengan penambahan faktor input yang lain.
Seperti yang terjadi di AS, lahan pertanian di AS kurang subur, untuk mengatasi hal tersebut maka mereka meningkatkan penggunaan pupuk, di lain pihak tenaga kerja mereka melimpah, namun lahan pertanian juga luas, maka mereka meningkatkan dua hal yaitu penggunaan faktor tenaga kerja dan mekanisasi, sehingga produktivitas meningkat. Sebagai contoh lagi, di Jepang lahan pertanian subur karena tanahnya ditutupi abu vulkanis, namun tenaga kerja kurang melimpah, maka mereka meningkatkan penggunaan mesin untuk mensubstitusikan tenaga kerja, dan tenaga kerja yang ada digunakan untuk melakukan perawatan tanaman, misalnya membuat pupuk alami, sehingga meskipun lahan mereka sempit,tetapi memiliki produktivitas yang tinggi. Dengan demikian pertanian di AS dan Jepang merupakan contoh negara-negara yang berhasil dalam bidang peningkatan produksi pertanian.
Perbandingan kedua negara ini sebenarnya sedang menyadarkan kita bahwa untuk membangun pertanian, dibutuhkan perhatian yang khusus, terutama dalam R&D (Research and development) atau Penelitian dan Pengembangan. Sebelum bergerak ke arah pembangunan pertanian, hendaknya potensi suatu daerah / negara disurvey terlebih dahulu, sehingga dapat diketahui kelemahan dan keunggulannya sekaligus di bidang pertanian, kemudian apabila hal tersebut telah diketahui maka dilakukan perencanaan yang matang tentang bagaimana cara agar produktivitas yang dihasilkan tidak mengecewakan ataupun dapat menyia-nyiakan faktor produksi dan pembangunan pertanian yang dilakukan dapat sustain / berkelanjutan. Setelah itu, barulah pembangunan pertanian dapat dilakukan.
Bustanul Arifin dalam Kompas, 21 April 2008 mengatakan bahwa R&D adalah salah satu dari tiga dimensi yang melengkapi strategi dalam pembangunan pertanian. Menurutnya pembangunan pertanian wajib mengedepankan riset dan pemgembangan (R&D), misalnya melakukan uji varietas baru di sejumlah lahan kering dengan memberdayakan jaringan universitas dan balai pengembangan teknologi pertanian. Dengan pernyataan ini, maka Indonesia juga berpeluang untuk dapat mengikuti prestasi AS dan Jepang di bidang pertanian.
Dalam bab ini juga menceritakan, bagaimana inovasi dalam mekanisasi maupun teknologi berpengaruh besar bagi peningkatan produksi pertanian. Moehar Daniel (2002) menyatakan bahwa teknologi berperan dalam menentukan saling keterkaitan antar-faktor produksi. Menurut Daniel, katakanlah kalau luas tanah yang digunakan satu hektar maka berapa jumlah modal dan tenaga kerja yang dibutuhkan dapat ditentukan dengan menetapkan teknologi yang akan diterapkan. Begitu juga kalau modal yang tersedia terbatas atau ditentukan maka luas usaha tani juga harus mengikuti.
Teknologi yang selalu berubah dalah satu dari lima syarat pokok pembangunan pertanian menurut Mosher. Faktor ini termasuk ke dalam faktor yang esensial dalam pembangunan pertanian yang dapat mendorong petani untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, tentu daja faktor ini harus ditunjang dengan faktor pelancar yaitu pendidikan dan pelatihan. AS dan Jepang telah dapat membuktikannya, dengan begitu, Indonesia juga dapat berpeluang untuk melakukannya, dengan mencontoh metode R&D yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Kamis, 09 Desember 2010
LANJUTAN HAMBATAN SUMBER DAYA DAN PERUBAHAN TEKNIS
Pembangunan pertanian pada era globalisasi saat ini harus dibangun secara terintegrasi, mulai dari pembangunan industri hulu, on farm, dan industri hilir. Hal ini disebabkan dalam usaha membangun pertanian di suatu Negara memerlukan faktor-faktor produksi (input), yang meliputi tanah, tenaga kerja, modal dan skill (keterampilan). Keempat komponen input ini dikombinasikan sedemikian rupa dalam kegiatan usahatani untuk memperoleh output tertentu. Faktor-faktor produksi ini juga memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya, untuk itu diperlukanlah skill untuk dapat mengkombinasikannya sehingga diperoleh hasil output yang maksimal. Dengan kata lain setiap petani perlu memiliki skill yang baik dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Keterampilan disini dapat berupa kemampuan petani dalam menggali ide-ide baru yang bersifat inovasi dan kreasi sehingga dapat memanfaatkan hambatan atau kelemahan masing-masing faktor produksi sebagai suatu peluang.
Menurut Yujiro Hayami dalam bukunya yang berjudul “Agriculture Development” diuraikan teori-teori mengenai cara bagaimana membangun pertaniian di suatu Negara (how to improving the agriculture). Dalam hal ini saya akan mengemukakan pendapat saya mengenai teori beliau yang dijelaskan pada bab 7 mengenai produktivitas tenaga kerja di Negara Amerika serikat dan Jepang. Menurut Hayami setiap Negara pasti memiliki hambatan-hambatan atas sumber daya yang dimilikinya, akan tetapi hambatan-hambatan tersebut tidak mutlak akan membatasi pembangunan pertanian jika suatu Negara mampu mengkombinasikan sumber daya itu dengan baik. Sebagai contohnya di Negara Amerika Serikat dan Jepang yang notabene merupakan Negara maju memiliki masalah pembangunan pertanian juga. Namun kedua Negara ini memandang masalah tersebut sebagai suatu tantangan dan peluang untuk mencapai hasil produksi yang optimal.
Menurut data pada tabel 7.1 buku Hayami Luas lahan pertanian yang dimiliki oleh Amerika pada tahun 1880 yaitu 327 juta ha, sedangkan di Jepang luas lahan pertanian mencapai 5.509 ha. Dari data luas lahan masing-masing Negara diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan, namun dalam faktanya kedua Negara tersebut tingkat produksi pertaniannya mampu menghasilkan kelebihan produksi untuk ekspor ke beberapa Negara di dunia. Teknik yang diterapkan di Negara Amerika Serikat yaitu peningkatan produktivitas tenaga kerja sebagai pihak yang berperan dalam melakukan kegiatan usahatani. Sementar itu, di Jepang diterapkan peningkatan produksi lahan dengan cara pemakaian pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Di Negara-negara yang sudah maju, kemajuan pertanian diukur dengan tingginya produktivitas tenaga kerja, dan semua usaha diarahkan untuk meningkatkan produktivitas itu. hal ini dikarenakan pada Negara maju tenaga kerja merupakan faktor produksi yang terbatas jumlahnya, sebaliknya di Negara-negara berkembang khususnya Indonesia tenaga kerja merupakan faktor produksi yang banyak jumlahnya bahkan menjadi tidak bermanfaat (useless). Dengan demikian pada Negara maju untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja digunakan mesin-mesin “penghemat tenaga kerja” (labor saving) untuk mencapai produktivitas pertanian yang maksimal. Prinsip ekonomi pertanian yang diterapkan di Amerika Serikat yaitu meningkatkan efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja per orang bukan peningkatan efisiensi dalam penggunaan tanah per hektar. Meskipun demikian untuk dapat diterapkan di amerika perlu beberapa syarat yang telah terpenuhi dalam menjamin efisiensi penggunaan tenaga kerja yang maksimum, yaitu tersediuanya tanah yang cukup, alat-alat pertanian, mesin-mesin, dan tenaga kerja (power) yang cukup. Di samping itu, peran ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen juga tidak kalah pentingnya sebagai suatu kekuatan untuk membangun pertanian.
( Mubyarto, 1994)
Tingkat produktivitas tenaga kerja di amerika Serikat dan Jepang seperti yang ditampilkan pada table 7.2 di dalam buku Hayami, tahun 1980 terlihat bahwa di Amerika Tingkat produktivitas tenaga kerjanya mencapai 70 % sementara Jepang hanya 40%. Hal ini memberikan gambaran yang jelas bagaimana setiap Negara memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai produktivitas yang optimal. Di Amerika karena luas lahan pertaniannya lebih tinggi, maka tingkat produktivitas tenaga kerja yang ditingkatkan. Sedangkan di Jepang karena luas lahan pertaniannya lebih sempit, maka diusahakan peningkatan produktivitas lahannya daripada tenaga kerjanya. Namun demikian, dengan perbedaan teknik ini tidak membuat masing-masing Negara terhambat pembangunan pertaniannya, sebaliknya dengan ketersediaan input yang berbeda kedua Negara tersebut bisa memperoleh hasil produksi pertanian yang hebat karena sebagian hasil tersebut mamapu diekspor ke berbagai Negara di dunia.
Di samping tingkat produktivitas tenaga kerja, baik Negara Amerika maupun Jepang juga menerapkan adopsi teknologi berupa pemakaian mesin-mesin pertanian dan teknologi biologi (atau penggunaan benih unggul) sebagai penentu keberhasilan pembangunan pertanian. Di amerika lahan dibedakan menjadi dua yaitu lahan yang baiuk/cocok untuk ditanami (arable land) dan lahan yang digunakan untuk penggembalaan hewan ternak (grazing land). Pada periode 1900-1930 terjadi konversi lahan dari grazing land menuju arable land sebagai akibat pertumbuhan populasi di Amerika. Sementara di Jepang pada periode 1880-1910 terjadi peningkatan jam kerja per tenaga kerja. Rasio tanah-tenaga kerja dibandingkan dengan jumlah jam kerja hewan ternak yang digunakan serta penggunaan tenaga traktor per tenaga kerja. Di Jepang rasio tanah-tanaga kerja menggunakan indicator tenaga kerja pria dan jam kerja yang digunakan.
Apabila dibandingkan dengan Negara Indonesia, dimana jumlah tenaga kerja yang tersedia jumlahnya cukup tinggi, masalah produktivitas tenaga kerja menjadisuatu masalah yang begitu serius. Bagaimana tidak, dengan ketersediaan sumser daya yang melimpah Indonesia justru tidak mampu membangun pertanian secara terintegrasi. Padahal telah jelas terlihat bahwa untuk membangun pertanian yang berhasil diperlukan hubungan yang terintegrasi mulai dari input, on farm, industri hulu dan industi hilir. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam usaha membangun pertanian ialah tenaga kerja yang memiliki kompetensi dalam usahatani. Artinya pendidikan serta pengalaman tenaga kerja memiliki pengaruh terhadap tingkat produktivitas pertanian itu sendiri. Jika tenaga kerjanya sudah memiliki skill yang cukup, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dalam kegiatan usahatani yang dilakukan, sehingga tercapai efisiensi dan produktivitas pertanian pun akan meningkat.
(Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES)
Menurut Yujiro Hayami dalam bukunya yang berjudul “Agriculture Development” diuraikan teori-teori mengenai cara bagaimana membangun pertaniian di suatu Negara (how to improving the agriculture). Dalam hal ini saya akan mengemukakan pendapat saya mengenai teori beliau yang dijelaskan pada bab 7 mengenai produktivitas tenaga kerja di Negara Amerika serikat dan Jepang. Menurut Hayami setiap Negara pasti memiliki hambatan-hambatan atas sumber daya yang dimilikinya, akan tetapi hambatan-hambatan tersebut tidak mutlak akan membatasi pembangunan pertanian jika suatu Negara mampu mengkombinasikan sumber daya itu dengan baik. Sebagai contohnya di Negara Amerika Serikat dan Jepang yang notabene merupakan Negara maju memiliki masalah pembangunan pertanian juga. Namun kedua Negara ini memandang masalah tersebut sebagai suatu tantangan dan peluang untuk mencapai hasil produksi yang optimal.
Menurut data pada tabel 7.1 buku Hayami Luas lahan pertanian yang dimiliki oleh Amerika pada tahun 1880 yaitu 327 juta ha, sedangkan di Jepang luas lahan pertanian mencapai 5.509 ha. Dari data luas lahan masing-masing Negara diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan, namun dalam faktanya kedua Negara tersebut tingkat produksi pertaniannya mampu menghasilkan kelebihan produksi untuk ekspor ke beberapa Negara di dunia. Teknik yang diterapkan di Negara Amerika Serikat yaitu peningkatan produktivitas tenaga kerja sebagai pihak yang berperan dalam melakukan kegiatan usahatani. Sementar itu, di Jepang diterapkan peningkatan produksi lahan dengan cara pemakaian pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Di Negara-negara yang sudah maju, kemajuan pertanian diukur dengan tingginya produktivitas tenaga kerja, dan semua usaha diarahkan untuk meningkatkan produktivitas itu. hal ini dikarenakan pada Negara maju tenaga kerja merupakan faktor produksi yang terbatas jumlahnya, sebaliknya di Negara-negara berkembang khususnya Indonesia tenaga kerja merupakan faktor produksi yang banyak jumlahnya bahkan menjadi tidak bermanfaat (useless). Dengan demikian pada Negara maju untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja digunakan mesin-mesin “penghemat tenaga kerja” (labor saving) untuk mencapai produktivitas pertanian yang maksimal. Prinsip ekonomi pertanian yang diterapkan di Amerika Serikat yaitu meningkatkan efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja per orang bukan peningkatan efisiensi dalam penggunaan tanah per hektar. Meskipun demikian untuk dapat diterapkan di amerika perlu beberapa syarat yang telah terpenuhi dalam menjamin efisiensi penggunaan tenaga kerja yang maksimum, yaitu tersediuanya tanah yang cukup, alat-alat pertanian, mesin-mesin, dan tenaga kerja (power) yang cukup. Di samping itu, peran ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen juga tidak kalah pentingnya sebagai suatu kekuatan untuk membangun pertanian.
( Mubyarto, 1994)
Tingkat produktivitas tenaga kerja di amerika Serikat dan Jepang seperti yang ditampilkan pada table 7.2 di dalam buku Hayami, tahun 1980 terlihat bahwa di Amerika Tingkat produktivitas tenaga kerjanya mencapai 70 % sementara Jepang hanya 40%. Hal ini memberikan gambaran yang jelas bagaimana setiap Negara memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai produktivitas yang optimal. Di Amerika karena luas lahan pertaniannya lebih tinggi, maka tingkat produktivitas tenaga kerja yang ditingkatkan. Sedangkan di Jepang karena luas lahan pertaniannya lebih sempit, maka diusahakan peningkatan produktivitas lahannya daripada tenaga kerjanya. Namun demikian, dengan perbedaan teknik ini tidak membuat masing-masing Negara terhambat pembangunan pertaniannya, sebaliknya dengan ketersediaan input yang berbeda kedua Negara tersebut bisa memperoleh hasil produksi pertanian yang hebat karena sebagian hasil tersebut mamapu diekspor ke berbagai Negara di dunia.
Di samping tingkat produktivitas tenaga kerja, baik Negara Amerika maupun Jepang juga menerapkan adopsi teknologi berupa pemakaian mesin-mesin pertanian dan teknologi biologi (atau penggunaan benih unggul) sebagai penentu keberhasilan pembangunan pertanian. Di amerika lahan dibedakan menjadi dua yaitu lahan yang baiuk/cocok untuk ditanami (arable land) dan lahan yang digunakan untuk penggembalaan hewan ternak (grazing land). Pada periode 1900-1930 terjadi konversi lahan dari grazing land menuju arable land sebagai akibat pertumbuhan populasi di Amerika. Sementara di Jepang pada periode 1880-1910 terjadi peningkatan jam kerja per tenaga kerja. Rasio tanah-tenaga kerja dibandingkan dengan jumlah jam kerja hewan ternak yang digunakan serta penggunaan tenaga traktor per tenaga kerja. Di Jepang rasio tanah-tanaga kerja menggunakan indicator tenaga kerja pria dan jam kerja yang digunakan.
Apabila dibandingkan dengan Negara Indonesia, dimana jumlah tenaga kerja yang tersedia jumlahnya cukup tinggi, masalah produktivitas tenaga kerja menjadisuatu masalah yang begitu serius. Bagaimana tidak, dengan ketersediaan sumser daya yang melimpah Indonesia justru tidak mampu membangun pertanian secara terintegrasi. Padahal telah jelas terlihat bahwa untuk membangun pertanian yang berhasil diperlukan hubungan yang terintegrasi mulai dari input, on farm, industri hulu dan industi hilir. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam usaha membangun pertanian ialah tenaga kerja yang memiliki kompetensi dalam usahatani. Artinya pendidikan serta pengalaman tenaga kerja memiliki pengaruh terhadap tingkat produktivitas pertanian itu sendiri. Jika tenaga kerjanya sudah memiliki skill yang cukup, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dalam kegiatan usahatani yang dilakukan, sehingga tercapai efisiensi dan produktivitas pertanian pun akan meningkat.
(Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES)
Rabu, 08 Desember 2010
HAMBATAN SUMBER DAYA DAN PERUBAHAN TEKNIS
HAMBATAN SUMBER DAYA DAN PERUBAHAN TEKNIS
( DIRUJUK DARI TEORI YUJIRO HAYAMI )
Dukungan Sumber Daya, Produksi, Dan Produktivitas
Situasi negara yang ditandai oleh kurangnya persediaan tanah atau tenaga kerja yang potensial tergantung pada pertumbuhan modal yang dimiliki dan perubahan teknis yang digunakan. Perubahan teknis ini jelas menunjukan unsur perubahan suatu cara yang baik dalam produksi maupun dalam distribusi barang-barang dan jasa-jasa yang menjurus ke arah perbaikan dan peningkatan produktivitas. Dalam hal ini, peranan teknologilah yang sangat berpengaruh pada peningkatan produktivitas.
Dalam menerapkan teknologi baru yaitu melaksanakan perubahan teknis dan mengadopsi inovasi di bidang pertanian, terkadang timbulah suatu persoalan baru. Sesuatu yang baru itu membawa serta suatu perubahan dan sesudah perubahan itu, terjadilah keadaan-keadaan yang berbeda dari sebelumnya. Akibat yang timbul dari adanya suatu perubahan adalah adanya pihak-pihak yang menjadi untung, tetapi pada saat yang sama akan ada pihak-pihak lain yang dirugikan. Contohnya, tenaga kerja yang mulai digantikan dengan tenaga mesin-mesin. Hal ini dapat merugikan tenaga kerja dan dapat meningkatkan jumlah penggangguran yang dapat menyebabkan tingginya angka kemiskinan.
Penelitian dan pengembangan pertanian di Amerika Serikat dan Jepang pada periode 1880 – 1980 nampaknya mempunyai implikasi penting bagi dunia pertanian yaitu :
(a) Amerika serikat mempunyai nisbah tanah yang baik
(b) Jepang mempunyai suatu nisbah tanah yang kurang baik.
Karena Amerika Serikat memiliki nisbah tanah yang baik, maka pertaniannya diarahkan pada peningkatan produktifitas tenaga kerja. Sedangkan Jepang memiliki nisbah tanah yang kurang baik, maka pertaniannya diarahkan pada usaha peningkatan produktifitas tanah.
Di negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, kemajuan pertanian diukur dengan tingginya produktivitas tenaga kerja dan semua usaha pertanian diarahkan untuk meningkatkan produktivitas itu. Di Amerika Serikat, faktor tenaga kerja merupakan faktor produksi yang paling terbatas jumlahnya dibandingkan dengan tanah dan modal. Mesin-mesin dan teknogi dijadikan sebagai penghemat tenaga kerja (Labor Saving) untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan produktivitas pertanian pada umumnya. Prinsip yang dianut oleh Amerika Serikat adalah meningkatkan efesiensi dalam penggunaan tenaga kerja per orang dan tidak pada peningkatan efesiensi penggunaan tanah per hektar. Upaya ini dilakukan karena Amerika tersebut memiliki :
a. Persediaan tanah yang cukup untuk lahan pertanian.
b. Alat-alat pertanian, mesin-mesin, dan tenaga kerja harus cukup.
c. Ilmu pengetahuan dan teknogi yang akan digunakan harus baik.
d. Dan manajemen usahataninya harus baik.
Salah satu penyebab utama pertanian di Amerika Serikat mengalami kemajuan yang sangat hebat, sehingga menghasilkan kelebihan produksi untuk ekspor ke seluruh dunia adalah karena syarat-syarat tersebut dipenuhi.
Sedangkan kemajuan pertanian di negara Jepang disebabkan karena produktivitas tanahnya yang tinggi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja di Jepang begitu besar dibandingkan dengan Amerika Serikat, sedangkan lahan yang cocok untuk pertanian jumlahnya terbatas. Jumlah tenaga kerja yang cukup besar ini, Jepang mengarahkan pertaniannya kepada produktivitas tanah. Dengan lahan pertanian yang terbatas ini, diharapkan dapat menghasilkan produk pertanian yang bermutu dan unggul. Selain itu, sebagian besar tenaga kerjanya diarahkan pada sektor agroindustri yang dapat menunjang kemajuan sektor pertanian juga. Jadi, sektor pertanian dan agroindustri saling mendukung keberadaannya. Model pembangunan pertanian ini dilakukan dengan sangat baik. Sehingga di negara Jepang, sektor pertanian dipandang aktif dan sektor industri mengikutinya. Pertaniannya kini dianggap sebagai sektor pemimpin yang diharapkan dapat mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya.
Keberhasilan suatu pembangunan pertanian diperlukan beberapa syarat atau prakondisi yang berbeda antar negaranya. Di Jepang, prakondisi itu sebgaian besar berasal dari sektor pertanian sendiri berupa pemberian dana-dana yang digunakan untuk mengembangkan sektor industri yang secara simultan memproduksi sarana-sarana dan alat-alat untuk meningkatkan produksi pertanian. Dan para petani sangat tertarik untuk menerapkan teknologi-teknologi baru tersebut karena hasilnya memang terbukti dapat dirasaka.
Harga Sumber daya dan Pemberian subsidi
Jepang dan Amerika Serikat memiliki perbedaan kuat pada pemberian subsidi tanah dan tenaga kerja. Pada tahun 1880, total area tanah pertanian di Amerika Serikat lebih besar dibandingkan dengan negara Jepang yaitu 60 : 20. Pada tahun 1980, terjadi peningkatan total area tanah pertanian di Jepang dan Amerika Serikat yaitu 50 : 100. Peningkatan total area tanah pertanian dikedua negara ini diakibatkan karena beralih fungsinya lahan nonpertanian menjadi lahan-lahan pertanian. Karena mayarakat dikedua negara ini tahu bahwa sektor-sektor pertanian telah mengalami kemajuan yang pesat dan dapat menguntungkan semua pihak. Jika dilihat dari angkanya, peningkatan area tanah pertanian di Amerika Serikat pada tahun 1980 jauh lebih meningkat dibandingkan dengan Jepang. Namun intinya, dikedua negara tersebut telah mengalami peningkatan jumlah area tanah pertanian.
Luas area tanah pertanian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses usaha pertanian. Dalam berusahatani, penguasaan lahan yang sempit pasti kurang efesien dibanding lahan yang lebih luas. Semakin sempit lahan usaha, semakin tidak efesien usahatani yang dilakukan. Kecuali bila suatu usahatani dijalankan dengan tertib dan administrasi yang baik serta teknologi yang tepat seperti di negara Jepang. Sebenarnya pada lahan yang sempit justru seharusnya efesiensi usaha lebih mudah diterapkan, karena mudah pengawasan dan penggunaan input, kebutuhan tenaga kerja sedikit serta modal yang diperlukan juga lebih sedikit dan lebih mudah diperoleh. Tingkat efesiensi sebenarnya terletak pada penerapan teknologi.
Selain itu, harga tanah dan tenaga kerja juga berbeda tajam di keduanya negara ini. Di Jepang pada tahun 1880, untuk satu hektar tanah yang cocok untuk lahan pertanian harus dikerjakan oleh petani dengan waktu 8 jam per harinya. Sedangkan untuk Amerika Serikat, upah tenaga kerja dikaitkan dengan harga tanah, terutama sekali antara 1880 dan 1920. Di Jepang harga tanah tajam sehubungan dengan upah tenaga kerja, terutama sekali antara 1880 dan 1900. Pada tahun 1960, seorang petani Jepang harus bekerja terlebih dahulu selama 30 hari kemudian baru diberi upah, hal ini sama seperti yang dilakukan di Amerika.
Produksi dan Pertumbuhan Produktivitas
Pada area lahan petani, harga tanah dan tenaga kerja di Amerika Serikat dan Jepang telah mengalami pertumbuhan yang relatif cepat pada produktivitas dan produksi pertanian. Keseluruhan pertumbuhan pertanian sangat serupa di kedua negara ini untuk periode 100 tahun. Di kedua negara ini, hasil total pertanian meningkat per tahunnya 1,6 %, total input meningkat sebanyak 0,7 %, dan total produktivitas ( output total dibagi oleh total input) meningkat 0,9 % pertahunnya. Sedangkan di Amerika Serikat, produktivitas diukur dengan hasil pertanian per jumlah pekerja meningkat menjadi 3,1 % per tahun dan 2,7 % di Jepang. Ternyata ada suatu kemiripan pada tingkat pertumbuhan secara keseluruhan pada produktivitas produksi dalam waktu yang relatif lebih cepat.
Di Amerika Serikat, Hasil pertanian tumbuh dengan cepat sampai pada tahun 1900, kemudian laju pertumbuhannya setiap tahun menjadi rata. Dari tahun 1900 - 1030, secara keseluruhan produktivitas ini mengalami keuntungan sedikit lebih kecil. Tahap stagnasi ini digantikan oleh suatu kenaikan produktivitas dan produksi pada tahun 1940 dan 1950. Jepang mengalami peningkatan cepat pada produktivitas dan produksi pertanian dari tahun 1880 - 1910, kemudian masuk ke suatu tahap pemberhentian yang bertahan sampai yang pertengahan tahun 1930.
Sumber : Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES / Daniel, Moehar. 2000. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : PT. Bumi Aksara. )
Pembangunan pertanian pada era globalisasi saat ini harus dibangun secara terintegrasi, mulai dari pembangunan industri hulu, on farm, dan industri hilir. Hal ini disebabkan dalam usaha membangun pertanian di suatu Negara memerlukan faktor-faktor produksi (input), yang meliputi tanah, tenaga kerja, modal dan skill (keterampilan). Keempat komponen input ini dikombinasikan sedemikian rupa dalam kegiatan usahatani untuk memperoleh output tertentu. Faktor-faktor produksi ini juga memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya, untuk itu diperlukanlah skill untuk dapat mengkombinasikannya sehingga diperoleh hasil output yang maksimal. Dengan kata lain setiap petani perlu memiliki skill yang baik dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Keterampilan disini dapat berupa kemampuan petani dalam menggali ide-ide baru yang bersifat inovasi dan kreasi sehingga dapat memanfaatkan hambatan atau kelemahan masing-masing faktor produksi sebagai suatu peluang.
Menurut Yujiro Hayami dalam bukunya yang berjudul “Agriculture Development” diuraikan teori-teori mengenai cara bagaimana membangun pertaniian di suatu Negara (how to improving the agriculture). Dalam hal ini saya akan mengemukakan pendapat saya mengenai teori beliau yang dijelaskan pada bab 7 mengenai produktivitas tenaga kerja di Negara Amerika serikat dan Jepang. Menurut Hayami setiap Negara pasti memiliki hambatan-hambatan atas sumber daya yang dimilikinya, akan tetapi hambatan-hambatan tersebut tidak mutlak akan membatasi pembangunan pertanian jika suatu Negara mampu mengkombinasikan sumber daya itu dengan baik. Sebagai contohnya di Negara Amerika Serikat dan Jepang yang notabene merupakan Negara maju memiliki masalah pembangunan pertanian juga. Namun kedua Negara ini memandang masalah tersebut sebagai suatu tantangan dan peluang untuk mencapai hasil produksi yang optimal.
Menurut data pada tabel 7.1 buku Hayami Luas lahan pertanian yang dimiliki oleh Amerika pada tahun 1880 yaitu 327 juta ha, sedangkan di Jepang luas lahan pertanian mencapai 5.509 ha. Dari data luas lahan masing-masing Negara diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan, namun dalam faktanya kedua Negara tersebut tingkat produksi pertaniannya mampu menghasilkan kelebihan produksi untuk ekspor ke beberapa Negara di dunia. Teknik yang diterapkan di Negara Amerika Serikat yaitu peningkatan produktivitas tenaga kerja sebagai pihak yang berperan dalam melakukan kegiatan usahatani. Sementar itu, di Jepang diterapkan peningkatan produksi lahan dengan cara pemakaian pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Di Negara-negara yang sudah maju, kemajuan pertanian diukur dengan tingginya produktivitas tenaga kerja, dan semua usaha diarahkan untuk meningkatkan produktivitas itu. hal ini dikarenakan pada Negara maju tenaga kerja merupakan faktor produksi yang terbatas jumlahnya, sebaliknya di Negara-negara berkembang khususnya Indonesia tenaga kerja merupakan faktor produksi yang banyak jumlahnya bahkan menjadi tidak bermanfaat (useless). Dengan demikian pada Negara maju untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja digunakan mesin-mesin “penghemat tenaga kerja” (labor saving) untuk mencapai produktivitas pertanian yang maksimal. Prinsip ekonomi pertanian yang diterapkan di Amerika Serikat yaitu meningkatkan efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja per orang bukan peningkatan efisiensi dalam penggunaan tanah per hektar. Meskipun demikian untuk dapat diterapkan di amerika perlu beberapa syarat yang telah terpenuhi dalam menjamin efisiensi penggunaan tenaga kerja yang maksimum, yaitu tersediuanya tanah yang cukup, alat-alat pertanian, mesin-mesin, dan tenaga kerja (power) yang cukup. Di samping itu, peran ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen juga tidak kalah pentingnya sebagai suatu kekuatan untuk membangun pertanian.
( Mubyarto, 1994)
Tingkat produktivitas tenaga kerja di amerika Serikat dan Jepang seperti yang ditampilkan pada table 7.2 di dalam buku Hayami, tahun 1980 terlihat bahwa di Amerika Tingkat produktivitas tenaga kerjanya mencapai 70 % sementara Jepang hanya 40%. Hal ini memberikan gambaran yang jelas bagaimana setiap Negara memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai produktivitas yang optimal. Di Amerika karena luas lahan pertaniannya lebih tinggi, maka tingkat produktivitas tenaga kerja yang ditingkatkan. Sedangkan di Jepang karena luas lahan pertaniannya lebih sempit, maka diusahakan peningkatan produktivitas lahannya daripada tenaga kerjanya. Namun demikian, dengan perbedaan teknik ini tidak membuat masing-masing Negara terhambat pembangunan pertaniannya, sebaliknya dengan ketersediaan input yang berbeda kedua Negara tersebut bisa memperoleh hasil produksi pertanian yang hebat karena sebagian hasil tersebut mamapu diekspor ke berbagai Negara di dunia.
Di samping tingkat produktivitas tenaga kerja, baik Negara Amerika maupun Jepang juga menerapkan adopsi teknologi berupa pemakaian mesin-mesin pertanian dan teknologi biologi (atau penggunaan benih unggul) sebagai penentu keberhasilan pembangunan pertanian. Di amerika lahan dibedakan menjadi dua yaitu lahan yang baiuk/cocok untuk ditanami (arable land) dan lahan yang digunakan untuk penggembalaan hewan ternak (grazing land). Pada periode 1900-1930 terjadi konversi lahan dari grazing land menuju arable land sebagai akibat pertumbuhan populasi di Amerika. Sementara di Jepang pada periode 1880-1910 terjadi peningkatan jam kerja per tenaga kerja. Rasio tanah-tenaga kerja dibandingkan dengan jumlah jam kerja hewan ternak yang digunakan serta penggunaan tenaga traktor per tenaga kerja. Di Jepang rasio tanah-tanaga kerja menggunakan indicator tenaga kerja pria dan jam kerja yang digunakan.
Apabila dibandingkan dengan Negara Indonesia, dimana jumlah tenaga kerja yang tersedia jumlahnya cukup tinggi, masalah produktivitas tenaga kerja menjadisuatu masalah yang begitu serius. Bagaimana tidak, dengan ketersediaan sumser daya yang melimpah Indonesia justru tidak mampu membangun pertanian secara terintegrasi. Padahal telah jelas terlihat bahwa untuk membangun pertanian yang berhasil diperlukan hubungan yang terintegrasi mulai dari input, on farm, industri hulu dan industi hilir. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam usaha membangun pertanian ialah tenaga kerja yang memiliki kompetensi dalam usahatani. Artinya pendidikan serta pengalaman tenaga kerja memiliki pengaruh terhadap tingkat produktivitas pertanian itu sendiri. Jika tenaga kerjanya sudah memiliki skill yang cukup, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dalam kegiatan usahatani yang dilakukan, sehingga tercapai efisiensi dan produktivitas pertanian pun akan meningkat.
Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES)
( DIRUJUK DARI TEORI YUJIRO HAYAMI )
Dukungan Sumber Daya, Produksi, Dan Produktivitas
Situasi negara yang ditandai oleh kurangnya persediaan tanah atau tenaga kerja yang potensial tergantung pada pertumbuhan modal yang dimiliki dan perubahan teknis yang digunakan. Perubahan teknis ini jelas menunjukan unsur perubahan suatu cara yang baik dalam produksi maupun dalam distribusi barang-barang dan jasa-jasa yang menjurus ke arah perbaikan dan peningkatan produktivitas. Dalam hal ini, peranan teknologilah yang sangat berpengaruh pada peningkatan produktivitas.
Dalam menerapkan teknologi baru yaitu melaksanakan perubahan teknis dan mengadopsi inovasi di bidang pertanian, terkadang timbulah suatu persoalan baru. Sesuatu yang baru itu membawa serta suatu perubahan dan sesudah perubahan itu, terjadilah keadaan-keadaan yang berbeda dari sebelumnya. Akibat yang timbul dari adanya suatu perubahan adalah adanya pihak-pihak yang menjadi untung, tetapi pada saat yang sama akan ada pihak-pihak lain yang dirugikan. Contohnya, tenaga kerja yang mulai digantikan dengan tenaga mesin-mesin. Hal ini dapat merugikan tenaga kerja dan dapat meningkatkan jumlah penggangguran yang dapat menyebabkan tingginya angka kemiskinan.
Penelitian dan pengembangan pertanian di Amerika Serikat dan Jepang pada periode 1880 – 1980 nampaknya mempunyai implikasi penting bagi dunia pertanian yaitu :
(a) Amerika serikat mempunyai nisbah tanah yang baik
(b) Jepang mempunyai suatu nisbah tanah yang kurang baik.
Karena Amerika Serikat memiliki nisbah tanah yang baik, maka pertaniannya diarahkan pada peningkatan produktifitas tenaga kerja. Sedangkan Jepang memiliki nisbah tanah yang kurang baik, maka pertaniannya diarahkan pada usaha peningkatan produktifitas tanah.
Di negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, kemajuan pertanian diukur dengan tingginya produktivitas tenaga kerja dan semua usaha pertanian diarahkan untuk meningkatkan produktivitas itu. Di Amerika Serikat, faktor tenaga kerja merupakan faktor produksi yang paling terbatas jumlahnya dibandingkan dengan tanah dan modal. Mesin-mesin dan teknogi dijadikan sebagai penghemat tenaga kerja (Labor Saving) untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan produktivitas pertanian pada umumnya. Prinsip yang dianut oleh Amerika Serikat adalah meningkatkan efesiensi dalam penggunaan tenaga kerja per orang dan tidak pada peningkatan efesiensi penggunaan tanah per hektar. Upaya ini dilakukan karena Amerika tersebut memiliki :
a. Persediaan tanah yang cukup untuk lahan pertanian.
b. Alat-alat pertanian, mesin-mesin, dan tenaga kerja harus cukup.
c. Ilmu pengetahuan dan teknogi yang akan digunakan harus baik.
d. Dan manajemen usahataninya harus baik.
Salah satu penyebab utama pertanian di Amerika Serikat mengalami kemajuan yang sangat hebat, sehingga menghasilkan kelebihan produksi untuk ekspor ke seluruh dunia adalah karena syarat-syarat tersebut dipenuhi.
Sedangkan kemajuan pertanian di negara Jepang disebabkan karena produktivitas tanahnya yang tinggi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja di Jepang begitu besar dibandingkan dengan Amerika Serikat, sedangkan lahan yang cocok untuk pertanian jumlahnya terbatas. Jumlah tenaga kerja yang cukup besar ini, Jepang mengarahkan pertaniannya kepada produktivitas tanah. Dengan lahan pertanian yang terbatas ini, diharapkan dapat menghasilkan produk pertanian yang bermutu dan unggul. Selain itu, sebagian besar tenaga kerjanya diarahkan pada sektor agroindustri yang dapat menunjang kemajuan sektor pertanian juga. Jadi, sektor pertanian dan agroindustri saling mendukung keberadaannya. Model pembangunan pertanian ini dilakukan dengan sangat baik. Sehingga di negara Jepang, sektor pertanian dipandang aktif dan sektor industri mengikutinya. Pertaniannya kini dianggap sebagai sektor pemimpin yang diharapkan dapat mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya.
Keberhasilan suatu pembangunan pertanian diperlukan beberapa syarat atau prakondisi yang berbeda antar negaranya. Di Jepang, prakondisi itu sebgaian besar berasal dari sektor pertanian sendiri berupa pemberian dana-dana yang digunakan untuk mengembangkan sektor industri yang secara simultan memproduksi sarana-sarana dan alat-alat untuk meningkatkan produksi pertanian. Dan para petani sangat tertarik untuk menerapkan teknologi-teknologi baru tersebut karena hasilnya memang terbukti dapat dirasaka.
Harga Sumber daya dan Pemberian subsidi
Jepang dan Amerika Serikat memiliki perbedaan kuat pada pemberian subsidi tanah dan tenaga kerja. Pada tahun 1880, total area tanah pertanian di Amerika Serikat lebih besar dibandingkan dengan negara Jepang yaitu 60 : 20. Pada tahun 1980, terjadi peningkatan total area tanah pertanian di Jepang dan Amerika Serikat yaitu 50 : 100. Peningkatan total area tanah pertanian dikedua negara ini diakibatkan karena beralih fungsinya lahan nonpertanian menjadi lahan-lahan pertanian. Karena mayarakat dikedua negara ini tahu bahwa sektor-sektor pertanian telah mengalami kemajuan yang pesat dan dapat menguntungkan semua pihak. Jika dilihat dari angkanya, peningkatan area tanah pertanian di Amerika Serikat pada tahun 1980 jauh lebih meningkat dibandingkan dengan Jepang. Namun intinya, dikedua negara tersebut telah mengalami peningkatan jumlah area tanah pertanian.
Luas area tanah pertanian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses usaha pertanian. Dalam berusahatani, penguasaan lahan yang sempit pasti kurang efesien dibanding lahan yang lebih luas. Semakin sempit lahan usaha, semakin tidak efesien usahatani yang dilakukan. Kecuali bila suatu usahatani dijalankan dengan tertib dan administrasi yang baik serta teknologi yang tepat seperti di negara Jepang. Sebenarnya pada lahan yang sempit justru seharusnya efesiensi usaha lebih mudah diterapkan, karena mudah pengawasan dan penggunaan input, kebutuhan tenaga kerja sedikit serta modal yang diperlukan juga lebih sedikit dan lebih mudah diperoleh. Tingkat efesiensi sebenarnya terletak pada penerapan teknologi.
Selain itu, harga tanah dan tenaga kerja juga berbeda tajam di keduanya negara ini. Di Jepang pada tahun 1880, untuk satu hektar tanah yang cocok untuk lahan pertanian harus dikerjakan oleh petani dengan waktu 8 jam per harinya. Sedangkan untuk Amerika Serikat, upah tenaga kerja dikaitkan dengan harga tanah, terutama sekali antara 1880 dan 1920. Di Jepang harga tanah tajam sehubungan dengan upah tenaga kerja, terutama sekali antara 1880 dan 1900. Pada tahun 1960, seorang petani Jepang harus bekerja terlebih dahulu selama 30 hari kemudian baru diberi upah, hal ini sama seperti yang dilakukan di Amerika.
Produksi dan Pertumbuhan Produktivitas
Pada area lahan petani, harga tanah dan tenaga kerja di Amerika Serikat dan Jepang telah mengalami pertumbuhan yang relatif cepat pada produktivitas dan produksi pertanian. Keseluruhan pertumbuhan pertanian sangat serupa di kedua negara ini untuk periode 100 tahun. Di kedua negara ini, hasil total pertanian meningkat per tahunnya 1,6 %, total input meningkat sebanyak 0,7 %, dan total produktivitas ( output total dibagi oleh total input) meningkat 0,9 % pertahunnya. Sedangkan di Amerika Serikat, produktivitas diukur dengan hasil pertanian per jumlah pekerja meningkat menjadi 3,1 % per tahun dan 2,7 % di Jepang. Ternyata ada suatu kemiripan pada tingkat pertumbuhan secara keseluruhan pada produktivitas produksi dalam waktu yang relatif lebih cepat.
Di Amerika Serikat, Hasil pertanian tumbuh dengan cepat sampai pada tahun 1900, kemudian laju pertumbuhannya setiap tahun menjadi rata. Dari tahun 1900 - 1030, secara keseluruhan produktivitas ini mengalami keuntungan sedikit lebih kecil. Tahap stagnasi ini digantikan oleh suatu kenaikan produktivitas dan produksi pada tahun 1940 dan 1950. Jepang mengalami peningkatan cepat pada produktivitas dan produksi pertanian dari tahun 1880 - 1910, kemudian masuk ke suatu tahap pemberhentian yang bertahan sampai yang pertengahan tahun 1930.
Sumber : Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES / Daniel, Moehar. 2000. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : PT. Bumi Aksara. )
Pembangunan pertanian pada era globalisasi saat ini harus dibangun secara terintegrasi, mulai dari pembangunan industri hulu, on farm, dan industri hilir. Hal ini disebabkan dalam usaha membangun pertanian di suatu Negara memerlukan faktor-faktor produksi (input), yang meliputi tanah, tenaga kerja, modal dan skill (keterampilan). Keempat komponen input ini dikombinasikan sedemikian rupa dalam kegiatan usahatani untuk memperoleh output tertentu. Faktor-faktor produksi ini juga memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya, untuk itu diperlukanlah skill untuk dapat mengkombinasikannya sehingga diperoleh hasil output yang maksimal. Dengan kata lain setiap petani perlu memiliki skill yang baik dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Keterampilan disini dapat berupa kemampuan petani dalam menggali ide-ide baru yang bersifat inovasi dan kreasi sehingga dapat memanfaatkan hambatan atau kelemahan masing-masing faktor produksi sebagai suatu peluang.
Menurut Yujiro Hayami dalam bukunya yang berjudul “Agriculture Development” diuraikan teori-teori mengenai cara bagaimana membangun pertaniian di suatu Negara (how to improving the agriculture). Dalam hal ini saya akan mengemukakan pendapat saya mengenai teori beliau yang dijelaskan pada bab 7 mengenai produktivitas tenaga kerja di Negara Amerika serikat dan Jepang. Menurut Hayami setiap Negara pasti memiliki hambatan-hambatan atas sumber daya yang dimilikinya, akan tetapi hambatan-hambatan tersebut tidak mutlak akan membatasi pembangunan pertanian jika suatu Negara mampu mengkombinasikan sumber daya itu dengan baik. Sebagai contohnya di Negara Amerika Serikat dan Jepang yang notabene merupakan Negara maju memiliki masalah pembangunan pertanian juga. Namun kedua Negara ini memandang masalah tersebut sebagai suatu tantangan dan peluang untuk mencapai hasil produksi yang optimal.
Menurut data pada tabel 7.1 buku Hayami Luas lahan pertanian yang dimiliki oleh Amerika pada tahun 1880 yaitu 327 juta ha, sedangkan di Jepang luas lahan pertanian mencapai 5.509 ha. Dari data luas lahan masing-masing Negara diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan, namun dalam faktanya kedua Negara tersebut tingkat produksi pertaniannya mampu menghasilkan kelebihan produksi untuk ekspor ke beberapa Negara di dunia. Teknik yang diterapkan di Negara Amerika Serikat yaitu peningkatan produktivitas tenaga kerja sebagai pihak yang berperan dalam melakukan kegiatan usahatani. Sementar itu, di Jepang diterapkan peningkatan produksi lahan dengan cara pemakaian pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Di Negara-negara yang sudah maju, kemajuan pertanian diukur dengan tingginya produktivitas tenaga kerja, dan semua usaha diarahkan untuk meningkatkan produktivitas itu. hal ini dikarenakan pada Negara maju tenaga kerja merupakan faktor produksi yang terbatas jumlahnya, sebaliknya di Negara-negara berkembang khususnya Indonesia tenaga kerja merupakan faktor produksi yang banyak jumlahnya bahkan menjadi tidak bermanfaat (useless). Dengan demikian pada Negara maju untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja digunakan mesin-mesin “penghemat tenaga kerja” (labor saving) untuk mencapai produktivitas pertanian yang maksimal. Prinsip ekonomi pertanian yang diterapkan di Amerika Serikat yaitu meningkatkan efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja per orang bukan peningkatan efisiensi dalam penggunaan tanah per hektar. Meskipun demikian untuk dapat diterapkan di amerika perlu beberapa syarat yang telah terpenuhi dalam menjamin efisiensi penggunaan tenaga kerja yang maksimum, yaitu tersediuanya tanah yang cukup, alat-alat pertanian, mesin-mesin, dan tenaga kerja (power) yang cukup. Di samping itu, peran ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen juga tidak kalah pentingnya sebagai suatu kekuatan untuk membangun pertanian.
( Mubyarto, 1994)
Tingkat produktivitas tenaga kerja di amerika Serikat dan Jepang seperti yang ditampilkan pada table 7.2 di dalam buku Hayami, tahun 1980 terlihat bahwa di Amerika Tingkat produktivitas tenaga kerjanya mencapai 70 % sementara Jepang hanya 40%. Hal ini memberikan gambaran yang jelas bagaimana setiap Negara memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai produktivitas yang optimal. Di Amerika karena luas lahan pertaniannya lebih tinggi, maka tingkat produktivitas tenaga kerja yang ditingkatkan. Sedangkan di Jepang karena luas lahan pertaniannya lebih sempit, maka diusahakan peningkatan produktivitas lahannya daripada tenaga kerjanya. Namun demikian, dengan perbedaan teknik ini tidak membuat masing-masing Negara terhambat pembangunan pertaniannya, sebaliknya dengan ketersediaan input yang berbeda kedua Negara tersebut bisa memperoleh hasil produksi pertanian yang hebat karena sebagian hasil tersebut mamapu diekspor ke berbagai Negara di dunia.
Di samping tingkat produktivitas tenaga kerja, baik Negara Amerika maupun Jepang juga menerapkan adopsi teknologi berupa pemakaian mesin-mesin pertanian dan teknologi biologi (atau penggunaan benih unggul) sebagai penentu keberhasilan pembangunan pertanian. Di amerika lahan dibedakan menjadi dua yaitu lahan yang baiuk/cocok untuk ditanami (arable land) dan lahan yang digunakan untuk penggembalaan hewan ternak (grazing land). Pada periode 1900-1930 terjadi konversi lahan dari grazing land menuju arable land sebagai akibat pertumbuhan populasi di Amerika. Sementara di Jepang pada periode 1880-1910 terjadi peningkatan jam kerja per tenaga kerja. Rasio tanah-tenaga kerja dibandingkan dengan jumlah jam kerja hewan ternak yang digunakan serta penggunaan tenaga traktor per tenaga kerja. Di Jepang rasio tanah-tanaga kerja menggunakan indicator tenaga kerja pria dan jam kerja yang digunakan.
Apabila dibandingkan dengan Negara Indonesia, dimana jumlah tenaga kerja yang tersedia jumlahnya cukup tinggi, masalah produktivitas tenaga kerja menjadisuatu masalah yang begitu serius. Bagaimana tidak, dengan ketersediaan sumser daya yang melimpah Indonesia justru tidak mampu membangun pertanian secara terintegrasi. Padahal telah jelas terlihat bahwa untuk membangun pertanian yang berhasil diperlukan hubungan yang terintegrasi mulai dari input, on farm, industri hulu dan industi hilir. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam usaha membangun pertanian ialah tenaga kerja yang memiliki kompetensi dalam usahatani. Artinya pendidikan serta pengalaman tenaga kerja memiliki pengaruh terhadap tingkat produktivitas pertanian itu sendiri. Jika tenaga kerjanya sudah memiliki skill yang cukup, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dalam kegiatan usahatani yang dilakukan, sehingga tercapai efisiensi dan produktivitas pertanian pun akan meningkat.
Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES)
TAHANAN PANGAN DAN OTONOMI DAERAH TAHUH 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
Bagaimana pula kaitan antara otonomi daerah dengan kebijakan pangan dan ketersediaan bahan pangan di tingkat lokal. Lebih baikkah atau justru kondisi ketersediaan pangan di tingakt lokal lebih buruk.
B. TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh otonomi daerah dengan ketersediaan bahan pangan di Indonesia pada tahun 2009
2. Mengetahui instrumen kebijakan yang tepat bagi indonesia
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya termasuk didalamnya bidang pertanian. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global
Apabila dilihat dari segi konsep diatas, otonomi daerah merupakan program yang sangat baik dalam rangka pengemangan daerah. Karena setiap daerah memiliki keungggulan dan kelemahan masing masing. Sehingga memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkannya. Otonomi daerah bukanlah menjadikan daerah hidup sendiri tanpa campur tangan pusat dan kerja sama dengan daerah lain. Oleh karena itu, otonomi daerah harus mampu mengoptimalakan segala potensi daerah itu, sehingga pembangunan ketahanan pangan dapat tercapai. Memperhatikan kebutuhan real masyarakat juga akan membantu pemerintah daerah dalam menetapakan kebijakan.
Kaitan dengan ketahanan pangan dapat memiliki perspektif mikro tentang kecukupan pangan dan gizi bagi seluruh lapisan masyarakat, dan juga dapat bermakna sangat makro tentang ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan dalam konteks pasar nasional, regional dan pasar lokal. Tidaklah terlalu mengherankan apabila kebijakan pangan sering kali menjelma menjadi komoditas politik karena pola atau siklus permasalahan bidang pangan telah diketahui masyarakat luas. Harga gabah umumnya anjlok pada musim panen raya di awal tahun yang tentu saja amat meresahkan petani padi, namun harga eceran beras juga menjadi sangat mahal dan nyaris tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat berpendapatan rendah. Apabila para politisi, para elit dan perumus kebijakan tidak mampu mengambil langkah-Iangkah efektif untuk menjaga dampak ekonomis dan politis yang ditimbulkannya, nuansa politik itu menjadi makin kental. Inilah salah satu hal yang harus dihindari pemerintah daerah maupun pusat selaku pengambil kebijakan di tingakt lokal, sehingga ketahanan pangan dijalankan dengan dasar berkerakyatan, bukan politik semata. Dan juga pemerintah pusat yang seharusnya menjadi acuan pemerintah daerah dalam pengambialan keputusan, agar kebijakan yang diambil menjadi selaras.
Dilihat dari beberapa penjabaran di atas, otonomi daerah sesungguhnya akan dapat menjamin ketersediaan pangan bagi daerah tersebut. Karena, pemerintah daerah tahu persis keunggulan dan kelemahan daerahnya masing masing, bagi daerah yang notabennya memang penghasil bahan pangan tentu tidak akan menjadi masalah mengenai ketersediaan bahan pangan di daerahnya. Namun bagi daerah yang memang kebutuhan pangannya bergantung pada darah lain juga dapat mengantisipasi untuk memenuhi kebutuhan panganya.
BAB III KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:
1. Otonomi daerah dapat ikut menjamin ketersediaan pangan di daerah.
2. Daerah harus mampu mengoptimalkan potensi daerahnya dengan otonomi daerah.
3. Kebijakan pemerintah harus mampu mengambil langkah-Iangkah efektif untuk menjaga dampak ekonomis dan politis yang ditimbulkannya
Daftar Pustaka
Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Bustanul, Arifin. 2003. Pembangunan Pertanian. Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung.
http://www.freshplaza.com/news_detail.asp?id=25678
A. LATAR BELAKANG
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
Bagaimana pula kaitan antara otonomi daerah dengan kebijakan pangan dan ketersediaan bahan pangan di tingkat lokal. Lebih baikkah atau justru kondisi ketersediaan pangan di tingakt lokal lebih buruk.
B. TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh otonomi daerah dengan ketersediaan bahan pangan di Indonesia pada tahun 2009
2. Mengetahui instrumen kebijakan yang tepat bagi indonesia
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya termasuk didalamnya bidang pertanian. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global
Apabila dilihat dari segi konsep diatas, otonomi daerah merupakan program yang sangat baik dalam rangka pengemangan daerah. Karena setiap daerah memiliki keungggulan dan kelemahan masing masing. Sehingga memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkannya. Otonomi daerah bukanlah menjadikan daerah hidup sendiri tanpa campur tangan pusat dan kerja sama dengan daerah lain. Oleh karena itu, otonomi daerah harus mampu mengoptimalakan segala potensi daerah itu, sehingga pembangunan ketahanan pangan dapat tercapai. Memperhatikan kebutuhan real masyarakat juga akan membantu pemerintah daerah dalam menetapakan kebijakan.
Kaitan dengan ketahanan pangan dapat memiliki perspektif mikro tentang kecukupan pangan dan gizi bagi seluruh lapisan masyarakat, dan juga dapat bermakna sangat makro tentang ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan dalam konteks pasar nasional, regional dan pasar lokal. Tidaklah terlalu mengherankan apabila kebijakan pangan sering kali menjelma menjadi komoditas politik karena pola atau siklus permasalahan bidang pangan telah diketahui masyarakat luas. Harga gabah umumnya anjlok pada musim panen raya di awal tahun yang tentu saja amat meresahkan petani padi, namun harga eceran beras juga menjadi sangat mahal dan nyaris tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat berpendapatan rendah. Apabila para politisi, para elit dan perumus kebijakan tidak mampu mengambil langkah-Iangkah efektif untuk menjaga dampak ekonomis dan politis yang ditimbulkannya, nuansa politik itu menjadi makin kental. Inilah salah satu hal yang harus dihindari pemerintah daerah maupun pusat selaku pengambil kebijakan di tingakt lokal, sehingga ketahanan pangan dijalankan dengan dasar berkerakyatan, bukan politik semata. Dan juga pemerintah pusat yang seharusnya menjadi acuan pemerintah daerah dalam pengambialan keputusan, agar kebijakan yang diambil menjadi selaras.
Dilihat dari beberapa penjabaran di atas, otonomi daerah sesungguhnya akan dapat menjamin ketersediaan pangan bagi daerah tersebut. Karena, pemerintah daerah tahu persis keunggulan dan kelemahan daerahnya masing masing, bagi daerah yang notabennya memang penghasil bahan pangan tentu tidak akan menjadi masalah mengenai ketersediaan bahan pangan di daerahnya. Namun bagi daerah yang memang kebutuhan pangannya bergantung pada darah lain juga dapat mengantisipasi untuk memenuhi kebutuhan panganya.
BAB III KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:
1. Otonomi daerah dapat ikut menjamin ketersediaan pangan di daerah.
2. Daerah harus mampu mengoptimalkan potensi daerahnya dengan otonomi daerah.
3. Kebijakan pemerintah harus mampu mengambil langkah-Iangkah efektif untuk menjaga dampak ekonomis dan politis yang ditimbulkannya
Daftar Pustaka
Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Bustanul, Arifin. 2003. Pembangunan Pertanian. Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung.
http://www.freshplaza.com/news_detail.asp?id=25678
Senin, 06 Desember 2010
Pola Produksi
Pola Produksi adalah penentuan bagaimana kebijakan perusahaan untuk melayani penjualan.
Macam - Macam Pola Produksi
1. Pola produksi konstan atai horizontal : adalah dimana jumlah yang diproduksi setiap periode tetap sama.
2. Pola produksi bergelombang : adalah jumlah yang diproduksi setiap periode tidak sama mengikuti perubahan
tingkat penjualan dalam perusahaan.
3. Pola produksi moderat : adalah gelombang produksi tidak tajam, sehingga mendekati konstan.
Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Pola Produksi
1. Pola penjualan
2. Pola biaya ;
a. biaya perputaran tenaga kerja
b. biaya simpan
c. biaya lembur
d. biaya subkontrak
3. Kapasitas maksimum fasilitas produksi.
Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Pabrik
1. Lingkungan masyarakat
2. Sumber alam
3. Tenaga kerja
4. Transportasi
5. Pembangkit tenaga listrik
6. Tanah untuk ekspansi
Metode Pemilihan Lokasi Pabrik
1. Metode kuantitatif : adalah menilai secara kuantitatif baik buruknya suatu daerah untuk pabrik sehubungan
dengan faktor-faktor yang terdapat didaerah tersebut, sehingga perusahaan dapat membandingkan keadaan
daerah satu dengan daerah lain.
2. Metode kualitatif : adalah konsep biaya tetap dan biaya variabel dari lokasi yang berbeda dapat menciptakan
hubungan antara biaya dan volume produksi yang berlaku bagi masing-masing lokasi.
3. Metode transportasi : adalah suatu alat untuk memecahkan masalah yang menyangkut pengiriman barang,
dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Tujuan transportasi adalah dari mana dan berapa jumlah yang harus didistribusikan pada masing-masing lokasi, sehingga biaya distribusi minimum.
Perencanaan Layout adalah perencanaan dari kombinasi yang optimal antara fasilitas produksi serta semua peralatan dan fasilitas terlaksananya proses produksi.
Tujuan Pelaksanaan Layout adalah untuk mendapatkan kombinasi yang paling optimal antara fasilitas-fasiltas produksi.
Layout Diperlukan Dalam Perusahaan Karena :
1. Adanya perubahan desain produk
2. Adanya produk baru
3. adanya perubahan volume permintaan
4. Lingkungan kerja yang tidak memuaskan
5. Fasilitas produksi yang ketinggalan jaman
6. Penghematan biaya
7. Adanya kecelakaan dalam proses produksi
8. Pemindahan lokasi pasar/konsentrasi terhadap pasar
Kriteria Penyusunan Layout :
1. Jarak angkut yang minimum
2. Penggunaan ruang yang efektif
3. Keselamatan barang-barang yang diangkut
4. Fleksibel
5. Kemungkinan ekspansi masa depan
6. Biaya diusahakan serendah mungkin
7. Aliran material yang baik
Langkah-Langkah Perencanaan Layout :
1. Melihat perencanaan produk yang menunjukkan fungsi-fungsi dimiliki produksi tersebut
2. Menentukan perlengkapan yang akan dibutuhkan dan memilih mesin-mesinnya.
3. Analisa dan keseimbangan urutan pekerjaan, flow casting dan penyusunan diagram blok daripada layout.
Klasifikasi Perencanaan Layout
1. Adanya perubahan-perubahan kecil dari layout yang ada
2. Adanya perubahan-perubahan fasilitas produksi yang baru
3. Merubah susunan layout karena adanya perubahan fasilitas produksi
4. Pembangunan pabrik baru
Macam - Macam Layout
1. Produk layout
adalah berurutan sesuai dengan jalannya proses produksi dari bahan mentah sampai menjadi barang jadi.
2. Proses layout
Adalah kesamaan proses atau kesamaan pekerjaan yang mempunyai fungsi yang sama dikelompokkan dan
ditempatkan dalam ruang tertentu.
3. Fixed position (layout kelompok)
Adalah susunan komponen untuk proses produksi diletakkan didekat tempat proses produksi dilaksanakan.
4. Material handling
Adalah ilmu untuk memindahkan, membungkus dan menyimpan bahan-bahan dalam segala bentuk
Macam - Macam Pola Produksi
1. Pola produksi konstan atai horizontal : adalah dimana jumlah yang diproduksi setiap periode tetap sama.
2. Pola produksi bergelombang : adalah jumlah yang diproduksi setiap periode tidak sama mengikuti perubahan
tingkat penjualan dalam perusahaan.
3. Pola produksi moderat : adalah gelombang produksi tidak tajam, sehingga mendekati konstan.
Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Pola Produksi
1. Pola penjualan
2. Pola biaya ;
a. biaya perputaran tenaga kerja
b. biaya simpan
c. biaya lembur
d. biaya subkontrak
3. Kapasitas maksimum fasilitas produksi.
Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Pabrik
1. Lingkungan masyarakat
2. Sumber alam
3. Tenaga kerja
4. Transportasi
5. Pembangkit tenaga listrik
6. Tanah untuk ekspansi
Metode Pemilihan Lokasi Pabrik
1. Metode kuantitatif : adalah menilai secara kuantitatif baik buruknya suatu daerah untuk pabrik sehubungan
dengan faktor-faktor yang terdapat didaerah tersebut, sehingga perusahaan dapat membandingkan keadaan
daerah satu dengan daerah lain.
2. Metode kualitatif : adalah konsep biaya tetap dan biaya variabel dari lokasi yang berbeda dapat menciptakan
hubungan antara biaya dan volume produksi yang berlaku bagi masing-masing lokasi.
3. Metode transportasi : adalah suatu alat untuk memecahkan masalah yang menyangkut pengiriman barang,
dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Tujuan transportasi adalah dari mana dan berapa jumlah yang harus didistribusikan pada masing-masing lokasi, sehingga biaya distribusi minimum.
Perencanaan Layout adalah perencanaan dari kombinasi yang optimal antara fasilitas produksi serta semua peralatan dan fasilitas terlaksananya proses produksi.
Tujuan Pelaksanaan Layout adalah untuk mendapatkan kombinasi yang paling optimal antara fasilitas-fasiltas produksi.
Layout Diperlukan Dalam Perusahaan Karena :
1. Adanya perubahan desain produk
2. Adanya produk baru
3. adanya perubahan volume permintaan
4. Lingkungan kerja yang tidak memuaskan
5. Fasilitas produksi yang ketinggalan jaman
6. Penghematan biaya
7. Adanya kecelakaan dalam proses produksi
8. Pemindahan lokasi pasar/konsentrasi terhadap pasar
Kriteria Penyusunan Layout :
1. Jarak angkut yang minimum
2. Penggunaan ruang yang efektif
3. Keselamatan barang-barang yang diangkut
4. Fleksibel
5. Kemungkinan ekspansi masa depan
6. Biaya diusahakan serendah mungkin
7. Aliran material yang baik
Langkah-Langkah Perencanaan Layout :
1. Melihat perencanaan produk yang menunjukkan fungsi-fungsi dimiliki produksi tersebut
2. Menentukan perlengkapan yang akan dibutuhkan dan memilih mesin-mesinnya.
3. Analisa dan keseimbangan urutan pekerjaan, flow casting dan penyusunan diagram blok daripada layout.
Klasifikasi Perencanaan Layout
1. Adanya perubahan-perubahan kecil dari layout yang ada
2. Adanya perubahan-perubahan fasilitas produksi yang baru
3. Merubah susunan layout karena adanya perubahan fasilitas produksi
4. Pembangunan pabrik baru
Macam - Macam Layout
1. Produk layout
adalah berurutan sesuai dengan jalannya proses produksi dari bahan mentah sampai menjadi barang jadi.
2. Proses layout
Adalah kesamaan proses atau kesamaan pekerjaan yang mempunyai fungsi yang sama dikelompokkan dan
ditempatkan dalam ruang tertentu.
3. Fixed position (layout kelompok)
Adalah susunan komponen untuk proses produksi diletakkan didekat tempat proses produksi dilaksanakan.
4. Material handling
Adalah ilmu untuk memindahkan, membungkus dan menyimpan bahan-bahan dalam segala bentuk
MANAJEMEN OPERASI DAN PRODUKSI
Produksi adalah penciptaan atau penambahan faedah, bentuk, waktu dan tempat atas faktor-faktor produksi sehingga lebih bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
Produk adalah hasil dari kegiatan produksi yang berwujud barang dan jasa.
Produsen adalah orang atau badan ataupun lembaga lain yang menghasilkan produk.
Produktivitas adalah suatu perbandingan dari hasil kegiatan yang sesungguhnya dengan hasil kegiatan yang seharusnya.
Luas Produksi adalah kapasitas yang digunakan oleh perusahaan dalam suatu periode tertentu. Dapat diukur dengan kapasitas mesin, penyerapan bahan baku, jumlah tenaga kerja, jumlah jam kerja, jumlah jam mesin dan unit keluaran.
Bill of Material adlah daftar dari seluruh bahan baku, bahan lain, onderdil dan komponen untuk memproduksi dalam perusahaan.
Job Lot Shop adalah perusahaan yang akan berproduksi atau pesanan yang masuk dalam perusahaan.
Moss Production Shop adalah perusahan-perusahaan yang berproduksi untuk persediaan atau untuk pasar. Produksi tidak konstan, kadang bertambah, kadang berkurang.
Luas Perusahaan adalah kapasitas yang tersedia atau terpasang dalam suatu perusahaan.
Perencanaan adalah serangkaian keputusan yang diambil sekarang untuk dikerjakan pada waktu yang akan datang.
Faktor - Faktor Produksi :
1. Alam
2. Modal
3. Tenaga kerja
4. Teknologi
Proses Produksi adalah cara atau metode untuk menciptakan atau menambah guna suatu barang atau jasa dengan memanfaatkan sumber yang ada.
Produk adalah hasil dari kegiatan produksi yang berwujud barang dan jasa.
Produsen adalah orang atau badan ataupun lembaga lain yang menghasilkan produk.
Produktivitas adalah suatu perbandingan dari hasil kegiatan yang sesungguhnya dengan hasil kegiatan yang seharusnya.
Luas Produksi adalah kapasitas yang digunakan oleh perusahaan dalam suatu periode tertentu. Dapat diukur dengan kapasitas mesin, penyerapan bahan baku, jumlah tenaga kerja, jumlah jam kerja, jumlah jam mesin dan unit keluaran.
Bill of Material adlah daftar dari seluruh bahan baku, bahan lain, onderdil dan komponen untuk memproduksi dalam perusahaan.
Job Lot Shop adalah perusahaan yang akan berproduksi atau pesanan yang masuk dalam perusahaan.
Moss Production Shop adalah perusahan-perusahaan yang berproduksi untuk persediaan atau untuk pasar. Produksi tidak konstan, kadang bertambah, kadang berkurang.
Luas Perusahaan adalah kapasitas yang tersedia atau terpasang dalam suatu perusahaan.
Perencanaan adalah serangkaian keputusan yang diambil sekarang untuk dikerjakan pada waktu yang akan datang.
Faktor - Faktor Produksi :
1. Alam
2. Modal
3. Tenaga kerja
4. Teknologi
Proses Produksi adalah cara atau metode untuk menciptakan atau menambah guna suatu barang atau jasa dengan memanfaatkan sumber yang ada.
Senin, 25 Oktober 2010
Metoda simplex masalah minimisasi
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan metode simpleks kita harus memformulasikan kembali permasalahan tersebut sesuai dengan standard simpleks. Formulasi sesuai standard simpleks artinya kita harus merubah tanda pertidaksamaan (≤ maupun ≥ ) menjadi persamaan. Untuk kendala dengan tanda = kita hanya menambahkan artificial variabel saja. Sehingga kendala yang pertama akan menjadi :
X1 + X2 + A1 = 1000
Kendala kedua, X1 ≤ 300 , kita tambahkan slack variabel sehingga menjadi :
X1 + S1 = 300
Sedangkan kendala ketiga, X2 ≥ 150, harus dikurangi dengan surplus variabel dan ditambah dengan artificial variabel, sehingga menjadi :
X2 – S2 + A2 = 150
Terakhir kita harus menuliskan fungsi tujuan. Karena dalam fungsi kendala ada artificial variabel, maka kita harus memberikan koefisien +M untuk artificial variable tersebut di fungsi tujuan. Koefisien +M ini menunjukkan angka yang sangat besar nilainya, sehingga dalam kasus ini dapat diinterpretasikan biaya yang sangat tinggi. Fungsi tujuan dalam permasalahan Putra Chemical Company akan menjadi :
Minimisasikan biaya Z = 5X1 + 6X2 + 0S1 + 0S2 + MA1 + MA2
Formulasi sesuai standard simpleks dari permasalahan Putra Chemical Company secara lengkap adalah :
Fungsi Tujuan :
Minimisasikan biaya Z = 5X1 + 6X2 + 0S1 + 0S2 + MA1 + MA2
Fungsi kendala :
X1 + X2 + A1 = 1000
X1 + S1 = 300
X2 – S2 + A2 = 150
X1, X2, S1, S2, A1, A2 ≥ 0
1. Menyusun table awal
Langkah selanjutnya untuk menyelsesaikan permasalahan LP dengan metode simpleks adalah membuat tabel awal. Hanya saja karena pada permasalahan Putra Chemical Company kita mengenal variabel lain selain slack variabel yaitu surplus variabel dan artificial variabel, maka variabel yang boleh masuk ke kolom product mix pada tabel awal ini hanyalah slack variabel dan artificial variabel.
| Cj | 5 | 6 | 0 | 0 | +M | +M | |
Product mix | | X1 | X2 | S1 | S2 | A1 | A2 | Q |
A1 | +M | 1 | 1 | 0 | 0 | 1 | 0 | 1000 |
S1 | 0 | 1 | 0 | 1 | 0 | 0 | 0 | 300 |
A2 | +M | 0 | 1 | 0 | -1 | 0 | 1 | 150 |
| Zj | +M | 2M | 0 | -M | +M | +M | 1050M |
| Cj-Zj | 5-M | 6-2M | 0 | M | 0 | 0 | |
2. Menentukan Kolom Pivot
Pada kasus minimisasi, pivot column ditentukan dengan cara memilih angka pada baris CJ – Zj yang mempunyai tanda negatif serta angkanya paling besar.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam perbaikan tabel adalah sebagai-berikut :
a. Menentukan pivot column (variabel yang akan masuk ke dalam kolom Product Mix), yaitu dengan memilih variable yang mempunyai nilai Cj–Zj negatif serta angkanya paling besar. Pivot column ini disebut juga optimal column atau kolom kunci.
b. menentukan pivot row (variable yang akan keluar dari kolom Product Mix), yaitu dengan membagi kolom quantitas dengan optimal column atau pivot column kemudian pilih hasil bagi non-negatif terkecil.
Untuk lebih memahami bagaimana kita menentukan pivot column dan pivot row, marilah kita lihat kembali tabel awal Putra Chemical Company.
| Cj | 5 | 6 | 0 | 0 | +M | +M | | |
Product mix | | X1 | X2 | S1 | S2 | A1 | A2 | Q | |
A1 | +M | 1 | 1 | 0 | 0 | 1 | 0 | 1000 | |
S1 | 0 | 1 | 0 | 1 | 0 | 0 | 0 | 300 | |
A2 | +M | 0 | 1 | 0 | -1 | 0 | 1 | 150 | Pivot row |
| Zj | +M | 2M | 0 | -M | +M | +M | 1050M | |
| Cj-Zj | 5-M | 6-2M | 0 | M | 0 | 0 | | |
| | | Pivot coloum | | | | | | |
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa variable yang mempunyai nilai Cj–Zj negatif dan angkanya paling besar adalah variabel X2, karena M menyatakan bilangan yang sangat besar nilainya. Dengan demikian variabel X2 disebut sebagai Pivot Column. Untuk menentukan pivot row, kita akan membagi angka pada kolom kuantitas dengan pivot column (kolom X2), kemudian kita pilih hasil bagi non-negatif terkecil. Pada kasus Putra Chemical Company, variabel yang merupakan pivot row (baris kunci) adalah variabel A2.
3. Melakukan Iterasi
Dalam baris Cj – Zj, dapat kita lihat terdapat 2 variabel yang mempunyai nilai negatif yaitu X1 dan X2. Dalam aturan permasalahan minimisasi, apabila pada baris Cj-Zj masih terdapat nilai negtif maka tabel tersebut belum optimal, oleh karena itu kita perlu melakukan iterasi.
Setelah pivot column dan pivot row ditentukan maka kita akan menghitung baris X2 untuk tabel 2 ini yaitu dengan cara baris A2 tabel awal dibagi pivot number (angka kunci), yaitu 1.
Langkah selanjutnya adalah mengisi baris yang lain yang bukan merupakan pivot row, yaitu angka pada baris lama tabel sebelumnya dikurangi dengan hasil perkalian antara angka pada pivot column baris bersangkutan, dengan angka pada baris baris yang menggantikan.
Angka baru = angka lama- angka pada coloum pivot x angka pada baris pivot yang bersesuaian
| Cj | 5 | 6 | 0 | 0 | +M | +M | |
Product mix | | X1 | X2 | S1 | S2 | A1 | A2 | Q |
A1 | +M | 1 | 0 | 0 | 1 | 1 | -1 | 850 |
S1 | 0 | 1 | 0 | 1 | 0 | 0 | 0 | 300 |
X2 | 6 | 0 | 1 | 0 | -1 | 0 | 1 | 150 |
| Zj | +M | 6 | 0 | M-6 | +M | 6-M | 900+850M |
| Cj-Zj | 5-M | 0 | 0 | 6-M | 0 | -6+2M | |
Perbaikan tabel ini akan kita lakukan hingga kita memperoleh tabel optimal, yaitu apabila baris Cj – Zj sudah positif atau nol. Karena pada tabel 2 ini masih kita jumpai angka yang bertanda negatif pada baris Cj-Zj yaitu angka pada kolom X1 (5-M)
dan kolom S2 (-6-M), maka kita akan melakukan iterasi kembali hingga memperoleh tabel optimal. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk membuat tabel perbaikkan sama dengan langkah-langkah yang telah kita lakukan pada saat membuat tabel 2 yaitu: tentukan pivot column, pivot row, pivot number, kemudian hitung angka pada baris yang menggantikan serta angka pada baris yang lainnya.
Pivot column pada tabel di atas adalah kolom X1 (karena mempunyai angka negatif terbesar yaitu 5-M), dan pivot row adalah baris S1 (karena merupakan hasil bagi non-negatif terkecil).
Langganan:
Postingan (Atom)